Monday, 8 October 2012

PROSES DAN PROSEDUR PENILAIAN



Proses penilaian hasil belajar Salah satu tugas dalam profesi keguruan adalah melakukan penilaian terhadap setiap kegiatan yang terselenggara dalam proses pembelajaran. Hal ini berpangkal dari suatu fakta yang bersifat kondrati tentang keingintahuan dari setiap manusia mengenai wujud dari hasil aktivitas yang telah diselenggarakannya, baik yang berdimensi kuantitas maupun yang mengarah pada aspek kualitas. Dengan demikian, penilaian dalam proses pembelajaran merupakan sebuah komponen yang tidak dapat disangsikan fungsi dan peranannya. Dengan kata lain bahwa kegiatan penilaian adalah sebuah bagian yang integral dalam proses pembelajaran itu sendiri.
Aktivitas penilaian memiliki signifikansi dengan proses pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan kegiatan pembelajaran. Tanpa ada komitmen dan kemampuan yang relevan dengan proses penilaian itu, maka pendidikan yang diharapkan untuk memanusiakan manusia memungkinkan dapat beralih fungsi menjadi sebuah prosedur yang menafikan aspirasi dan kreatifitas peserta didik. Oleh karena itu, guru selaku pelaksana pendidikan dan pengajaran di sekolah dituntut untuk selalu memperbaharui ilmu pengetahuannya agar sejalan dengan kemajuan yang ada dalam masyarakatnya. Pembaharuan yang harus dilakukan guru tidak saja yang bersifat intern, seperti tuntutan profesionalitas selaku pengemban profesi keguruan. Tetapi juga pembaharuan yang bersifat ekstren, seperti memiliki gerak yang dinamis dalam masyarakatnya. Dengan demikian seorang guru adalah inovator di dalam lembaganya juga motivator bagi masyarakatnya.
Penilaian merupakan tuntutan kemampuan yang bersifat intern dalam profesi keguruan, yakni kemampuan seorang guru untuk mengukur dan menilai sejauh mana ia telah mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya.
Kiranya perlu dicatat bahwa dalam usaha pencapaian tujuan selalu terdapat jurang pemisah (gap) antara tujuan dan hasil yang dicapai. Karena itu, usaha-usaha yang serius harus dilakukan untuk :
1. Menentukan tujuan yang realistis dan pragmatis.
2. Menentukan standard kualitas pekerjaan yang diharapkan.
3. Meneliti sampai pada tingkat apa standard yang telah ditentukan itu dapat dicapai.
4. Mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, baik penyesuaian rencana, pelaksanaan maupun cara memotivasi serta pengawasan. Penyesuaian dapat pula ditujukan terhadap tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1981 : 141).
Kriteria di atas merupakan komponen-komponen yang perlu mendapatkan perhatian dalam setiap aktivitas proses penilaian. Artinya bahwa setiap kegiatan penilaian harus selalu tertuju pada ketentuan-ketentuan tersebut.
Dalam pendidikan, orang mengadakan evaluasi (penilaian) dapat memenuhi dua tujuan, yaitu :
(a) Untuk mengetahui kemajuan anak, atau orang yang didik setelah si terdidik tadi menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
(b) Untuk mengetahui tingkat efesiensi metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu (Buchari, 1983 : 7).
Berpangkal dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses penilaian dalam lembaga-lembaga pendidikan formal pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jarak antara situasi yang ada dengan kondisi yang diharapkan untuk memperoleh data yang akan memberikan gambaran tentang harapan-harapan yang tertuang dalam tujuan pembelajaran seperti yang ditetapkan sebelumnya. Tanpa ada kegiatan penilaian tidak akan mungkin seorang guru dapat mengembangkan atau memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan karena tidak tersedianya informasi yang akurat tentang kelebihan/keuntungan maupun kekurangan/kelemahan dari berbagai praktik-praktik yang telah dilakukannya di dalam proses pembelajaran itu sendiri. Demikian pula bahwa dengan kegiatan penilaian akan diperoleh data tentang sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap bahan yang telah tersaji dalam interaksi belajar mengajar dan sekaligus juga dapat diketahui efektifitas dan efesiensi program pengajaran yang telah dilakukan.
Penilaian dalam proses belajar bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan pendidikan pada umumnya bersifat kompleks, maka penilaiannya pun tidak mungkin sederhana. Dalam menilai tujuan yang hendak dicapai perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut.
a. Hasil belajar yang merupakan pengetahuan dan pengertian.
b. Hasil belajar dalam bentuk sikap dan kelakuan.
c. Hasil belajar dalam bentuk kemampuan untuk diamalkan.
d. Hasil belajar dalam bentuk keterampilan serta yang dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari (Rusyan, 1989 : 2010 – 2011).
Apabila diperhatikan beberapa aspek yang perlu dicermati dalam proses penilaian sebagai bidang garapan guru di sekolah, maka dapat dinyatakan pula bahwa pada hakekatnya kegiatan penilaian itu harus berorientasi pada ketiga aspek tujuan pendidikan, yakni aspek kongnitif, afektif dan psikomotor.
Di dalam perkembangan lembaga-lembaga pendidikan formal, di mana sampai saat ini masih harus diakui bahwa terdapat ketimpangan yang sangat mendasar yang dilakukan oleh para guru di sekolah tentang pelaksanaan penilaian, dimana guru-guru pada umumnya tidak memahami kualitas tes atau alat yang disusunnya.
Umumnya guru-guru yang melaksanakan tugas-tugas keguruan, pada setiap jenjang pendidikan dapat dikatakan memiliki berbagai keterbatasan kemampuan, baik yang disebabkan katena faktor intern dari guru-guru yang bersangkutan maupun yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas untuk berbuat secara optimal sesuai dengan tuntutan dari perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Oleh karena itu, tidak sedikit para ahli pendidikan yang memiliki asumsi bahwa guru-guru di lapangan masih belum mampu mengoptimalkan antara potensi yang dimilikinya dengan kenyataan-kenyataan yang semestinya dikerjakan. Salah satu di antaranya, sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
 Diakui atau tidak dan disadari atau tidak, praktik penilaian pendidikan yang berkembang sampai saat ini masih banyak mengalami kendala, hal ini bersumber dari ketidakmampuan akademis dari guru yang bersangkutan untuk melaksanakan proses penilaian di bidang tersebut. Dengan kata lain, guru kurang memahami penilaian secara mendalam. Kebanyakan guru tidak memiliki latar belakang pendidikan formal secara khusus dalam penilaian pendidikan. Di sebagian perguruan tinggi atau lembaga penghasil tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kajian tentang penilaian pendidikan hanya diperoleh melalui beberapa mata kuliah saja atau bahkan satu mata kuliah saja. Sehingga bukanlah hal yang mengejutkan jika sebagian guru menggunakan tes yang sama dari tahun ke tahun. Sebagian guru bahkan berendapat bahwa mereka memberikan tes sebagaimana tes yang mereka terima. Hal ini dapat dibenarkan sepanjang guru menggunakan tes yang benar-benar baku dan dilakukan dengan cara yang baku pula. Namun terkadang guru menggunakan tes yang tidak dapat dijamin standarisasinya, dan tes yang cenderung sama digunakan dari tahun ke tahun (Supranata, 2004 : 70).
  Setiap guru harus dapat melakukan penilaian tentang kemajuan yang dicapai para siswa, baik secara iluminatif-observatif maupun secara struktural-objektif. Makna dari kedua cara penilaian tentang kemajuan belajar tersebut, seperti terurai berikut ini.
 Penilaian secara iluminatif-observatif dilakukan dengan pengamatan yang terus-menerus tentang perubahan dan kemajuan yang dicapai siswa. Sedangkan penilaian secara struktural-objektif berhubungan dengan pemberian skor, angka atau nilai yang biasa dilakukan dalam rangka penilaian hasil belajar siswa. Sungguhpun masih banyak kekurangan dan kelemahan, penilaian cara yang kedua (struktural-objektif) telah biasa digunakan oleh para guru. Namun penilaian cara yang pertama (iluminatif-observatif) masih belum biasa digunakan guru disebabkan kemampuan dan kesadaran akan pentingnya penilaian tersebut belum membudaya (Sudjana, 1989 : 21 – 22).
Dengan pendapat tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa masih terbatasnya kemampuan akademik dari para guru di dalam lembaga-lembaga pendidikan formal merupakan suatu kendala yang pasti untuk menuju pada kualitas pembelajaran yang relevan. Di samping itu, masih ada kecenderungan-kecenderungan negatif pada diri guru.
Tidak ada usaha yang lebih baik selain usaha untuk meningkatkan mutu tes atau non-tes yang disusunnya.
  Namun hal ini tidak dilaksanakan karena kecenderungan seseorang untuk beranggapan bahwa yang menjadi hasil karyanya adalah yang terbaik atau setidak-tidaknya sudah cukup. Guru yang sudah banyak pengalaman, mengajar dan menyusun soal-soal tes/non-tes, juga masih sukar menyadari bahwa tesnya masih belum sempurna (Arikunto, 1987 : 199).
      Gejala-gejala yang digambarkan di atas, pada dasarnya meliputi hampir semua pengemban profesi guru, sehingga pada akhirnya berdampak langsung pada semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, terutama dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang berorientasi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor.
Bertitik tolak dari fakta-fakta teori yang ada, maka perlu adanya suatu kegiatan penalaran yang dapat menjelaskan secara sistematis tentang kemampuan guru mata pelajaran dalam penilaian ranah kognitif, afektif dan psikomotor, baik yang dilakukan oleh guru itu sendiri maupun pihak lainnya

PROSEDUR PENILAIAN
1.       Kajian Materi Pembelajaran
                  Tahap pertama  yang harus dilakukan Gadik sebagai penilai adalah mempelajari dan mengkaji  materi pembelajaran dari satu atau lebih kompetensi dasar. Kajian materi ini dapat dilakukan melalui beberapa referensi untuk memperoleh bahan secara komprehensif dari beragam sumber dengan bertolak pada kompetensi yang diharapkan. 
2.       Memilih Teknik Penilaian
Tahap kedua Gadik memilih atau menentukan  teknik penilaian sesuai dengan kebutuhan pengukuran. Secara garis besar, teknik penilaian dapat digolongkan  menjadi dua, yaitu penilaian melalui tes dan non tes. Pusdik dan sekolah biasanya para Gadik  banyak menggunakan teknik pertama, yaitu dengan tes. Dalam menentukan keakuratan perlu  dipertimbangkan pemilihan teknik, yaitu tingkat ke-akurat-an dan kepraktisan penyusunan dalam setiap butir soal. Pemberian nilai dengan cara tes lebih mudah dibandingkan dengan non tes.

3.       Perumusan Kisi – Kisi 
Tahap ketiga merumuskan dan membuat matrik kisi-kisi sesuai dengan teknik penilaian yang telah ditentukan. Kisi-kisi merupakan deskripsi mengenai informasi dan ruang lingkup dari materi pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman untuk menulis soal atau matriks soal menjadi tes. Pembuatan kisi-kisi memiliki tujuan untuk menentukan ruang lingkup     dalam menulis soal    agar menghasilkan perangkat tes yang sesuai dengan indikator.
            Kisi kisi dibuat berdasarkan kompetensi dasar  dan indikator yang ingin dicapai serta bentuk tes yang akan diberikan kepada peserta didik.  Tes   dapat berbentuk tes objektif   benar-salah,  pilihan ganda atau  tes uraian serta non tes berupa penilaian afektif dan psikomotorik.   
    Kisi-kisi  berfungsi sebagai pedoman dalam penulisan soal dan perakitan tes. Dengan adaya kisi-kisi penulisan soal menjadi terarah, komprehensif dan representatif. Dengan pedoman kepada kisi-kisi penyusunan soal menjadi lebih mudah dan dapat menghasilkan soal-soal yang sesuai dengan tujuan tes.
1.            Syarat penyusunan Kisi – kisi adalah,
a.         Dapat mewakili isi silabus atau kurikulum.
b.         Komponen-komponennya rinci, jelas dan mudah dipahami.
c.         Materi yang hendak ditanyakan dapat dibuat soalnya sesuai bentuk soal yang ditetapkan.
d.         Sesuai dengan indikator.
2.            Komponen kisi – kisi terdiri dari:
1)         Komponen Identitas
2)         Jenis Pendidikan dan jenjang Pendidikan.
3)         Mata pembelajaran.
4)         Tahun ajaran.
5)         Jumlah soal.
6)         Bentuk soal.
7)         Standar Kompetensi.
8)         Kompetensi Dasar.
9)         Indikator

Dalam pembuatan kisi-kisi  harus memenuhi    kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang mengacu kepada  teori Bloom sebagai berikut:
1. Cakupan yang diukur dalam ranah Kognitif  adalah:
a.          Ingatan (C1) yaitu  kemampuan seseorang untuk mengingat. Ditandai dengan kemampuan menyebutkan simbol, istilah, definisi, fakta, aturan, urutan, metode.
b.      Pemahaman (C2) yaitu kemampuan seseorang untuk memahami tentang sesuatu hal. Ditandai dengan kemampuan menerjemahkan, menafsirkan, memperkirakan, menentukan, menginterprestasikan.
c.          Penerapan (C3), yaitu kemampuan berpikir untuk menjaring & menerapkan dengan tepat tentang teori, prinsip, simbol pada situasi baru/nyata. Ditandai dengan kemampuan menghubungkan, memilih, mengorganisasikan, memindahkan, menyusun, menggunakan, menerapkan, mengklasifikasikan, mengubah struktur.
d.      Analisis (C4),  Kemampuan berfikir secara logis dalam  meninjau  suatu fakta/ objek menjadi lebih rinci. Ditandai dengan kemampuan  membandingkan, menganalisis, menemukan, mengalokasikan, membedakan, mengkategorikan.
e.          Sintesis (C5),  Kemampuan berpikir untuk memadukan konsep-konsep secara logis sehingga menjadi suatu pola yang baru. Ditandai dengan kemampuan mensintesiskan, menyimpulkan, menghasilkan, mengembangkan, menghubungkan, mengkhususkan.
f.        Evaluasi (C6), Kemampuan berpikir untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap sustu situasi, sistem nilai, metoda, persoalan dan pemecahannya dengan menggunakan tolak ukur tertentu sebagai patokan. Ditandai dengan kemampuan menilai, menafsirkan, mempertimbangkan dan menentukan.

2.  Aspek Afektif
Aspek  afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah:
  1. Menerima (memperhatikan), meliputi kepekaan terhadap kondisi, gejala,  kesadaran, kerelaan, mengarahkan perhatian
  2. Merespon,  meliputi merespon secara  diam-diam, bersedia merespon, merasa  puas  dalam merespon, mematuhi peraturan
  3. Menghargai, meliputi menerima suatu nilai, mengutamakan suatu nilai, komitmen terhadap nilai
  4. Mengorganisasi, meliputi mengkonseptualisasikan nilai, memahami hubungan abstrak, mengorganisasi sistem suatu nilai
  5. Karakteristik suatu nilai, meliputi falsafah hidup dan sistem nilai yang dianutnya
3. Aspek Psikomotorik
Psikomotorik meliputi (1) gerak refleks, (2) gerak dasar fundamen, (3) keterampilan perseptual; diskriminasi kinestetik, diskriminasi visual, diskriminasi auditoris, diskriminasi taktis, keterampilan perseptual yang terkoordinasi, (4) keterampilan fisik, (5) gerakan terampil, (6) komunikasi non diskusi (tanpa bahasa-melalui gerakan) meliputi: gerakan ekspresif, gerakan interprestatif.
Berikut ini contoh pembuatan kisi-kisi   dalam bentuk matrik dengan bentuk tes objektif yang bervariasi dan nomor soal dibuat berurutan sesuai dengan bentuk soal dan indikator.        
4.       Penulisan Butir Soal   
    Tahap keempat,  Gadik  menulis dan membuat butir-butir soal yang  sesuai dengan kisi-kisi dan bentuk soal yang telah ditentukan. Bila Gadik menggunakan teknik non tes, maka diperlukan  untuk   membuat pedoman pengisian instrumen.  Misalnya untuk observasi atau wawancara.
5.       Penimbangan/Reviewe
Dalam tahap ini, butir soal dan atau pedoman yang telah disusun Gadik, ditimbang secara rasional (analisis rasional oleh Gadik) ; dibaca, ditelaah dan dikaji kembali   butir-butir soal dan atau pedoman yang dibuat telah memenuhi persyaratan.
6.       Perbaikan
Pedoman   diperbaiki sesuai dengan hasil penimbangan, bagian-bagian mana yang perlu dikurangi atau ditambah kalimat atau kata-katanya perbaikan inipun biasanya didasarkan kepada pemikiran peserta didik untuk memahami isi dari kalimat yang diberikan, hal ini mengandung arti bahwa kalimat yang disusun hendaknya  mudah di pahami oleh para peserta didik . .
7.       Uji-coba dan Penggandaan.
Uji-coba terhadap tes/soal yang dibuat adalah untuk menentukan apakah butir soal yang dibuat telah memenuhi criteria yang dituntut, sudahkah mempunyai tingkat ketetapan, ketepatan, tingkat kesukaran dan daya pembeda yang memadai. Untuk bentuk non tes kriterianya dituntut adalah tingkat ketepatan (validitas) dan ketetapan (reliabilitas) sehingga diperoleh perangkat alat tes ataupun non tes yang baku (standar)
8.       Diuji (diteskan)
Setelah diperoleh perangkat alat tes ataupun non tes yang memenuhi persyaratan sudah barang tentu perangkat alat ini diorganisasikan, disusun berdasarkan pada bentuk-bentuk atau model-model soal bagi perangkat tes, dan untuk perangkat non tes.Setelah perangkat tes maupun non tes digandakan kemudian siap untuk diujikan.
9.       Pemberian Skor
Lembar  jawaban peserta didik dikumpulkan dan disusun berdasarkan nomer induk peserta didik untuk memudahkan dalam memasukkan skor peserta didik. Kemudian dilakukan  pemberian skor sesuai dengan kunci jawaban, sehingga diperoleh skor   setiap peserta didik. Untuk bentuk soal objektif diberi skor 1 jika benar dan 0 jika salah, sedangkan skor bentuk essay bergantung kepada tingkat kesulitan soal. Untuk menafsirkan siapa yang lulus dan tidak lulus   bergantung pada batas lulus yang dipergunakan oleh Gadik.
10.   Putusan.
Setelah pengelolaan, sampai pada menafsirkan, Gadik  memperoleh putusan akhir dari kegiatan penilaian. Putusan yang diambil diharapkan obyektif sesuai dengan aturan.
PENILAIAN PSIKOMOTORIK
Psikomotorik meliputi (1) gerak refleks, (2) gerak dasar fundamen, (3) keterampilan perseptual; diskriminasi kinestetik, diskriminasi visual, diskriminasi auditoris, diskriminasi taktis, keterampilan perseptual yang terkoordinasi, (4) keterampilan fisik, (5) gerakan terampil, (6) komunikasi non diskusi (tanpa bahasa-melalui gerakan) meliputi: gerakan ekspresif, gerakan interprestatif.
Penilaian psikomotorik dapat dilakukan dengan menggunakan observasi   atau pengamatan. Observasi  sebagai alat penilaian banyak digunakan untuk mengukur tingkah laku individu ataupun proses terjadinya suatu kegiatan yang dapat diamati, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan. Dengan kata lain, observasi dapat mengukur atau menilai hasil dan proses belajar atau psikomotorik. Misalnya tingkah laku peserta didik ketika praktik, kegiatan diskusi peserta didik, partisipasi peserta didik dalam simulasi, dan penggunaan ALINS ketika belajar. 
Observasi  dilakukan pada saat proses kegiatan itu berlangsung. Pengamat terlebih dahulu harus menetapkan kisi-kisi  tingkah laku apa yang hendak diobservasinya, lalu dibuat pedoman agar memudahkan dalam pengisian observasi. Pengisian hasil observasi dalam pedoman yang dibuat sebenarnya bisa diisi secara bebas dalam bentuk uraian mengenai  tingkah laku   yang tampak  untuk diobservasi, bisa pula dalam bentuk memberi tanda cek (V) pada kolom jawaban hasil observasi.  
            Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut   dapat berupa tes paper and  pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
1)    Tes simulasi
       Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes ini,     jika tidak ada alat yang sesungguhnya yang dapat dipakai untuk memperagakan penampilan peserta didik, sehingga  peserta didik dapat dinilai tentang penguasaan keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah  menggunakan suatu alat yang sebenarnya. 
2)    Tes unjuk kerja (work sample)
       Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes ini, dilakukan dengan  sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakah peserta didik sudah menguasai/terampil menggunakan alat tersebut. Misalnya dalam melakukan praktik pengaturan lalu lintas lalu lintas di lapangan yang sebenarnya.
            Tes simulasi dan tes unjuk kerja, semuanya dapat diperoleh dengan observasi langsung ketika peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran. Lembar observasi dapat menggunakan   daftar cek (check-list) ataupun  skala penilaian (rating scale).  Psikomotorik  yang diukur dapat menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari  sangat baik, baik, kurang, kurang, dan tidak baik
PENGEMBANGAN INSTRUMEN OBSERVASI
a                     Hal yang diperhatikan dalam mengembangkan butir tes keterampilan :
§  Mengacu indikator kompetensi yang dikembangkan.
§  Mengidentifikasi langkah kerja yang diobservasi.
§  Menentukan model skala yang dipakai, yakni rating scale atau check list.
§  Membuat rubrik/pedoman penskoran yang dilengkapi dengan kategorisasi keberhasilan kompetensi yang dikembangkan.
§   
Penilaian  Afektif
Ranah afektif tidak dapat diukur seperti halnya ranah kognitif, karena dalam ranah afektif kemampuan yang diukur adalah: Menerima (memperhatikan), Merespon,  Menghargai, Mengorganisasi, dan Karakteristik suatu nilai.
Skala yang digunakan untuk mengukur ranah afektif  seseorang terhadap kegiatan suatu objek diantaranya skala sikap.   Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif), dan netral. Sikap pada hakikatnya adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Ada tiga komponen sikap, yakni kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek yang dihadapinya. Afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, sedangkan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat terhadap objek tersebut. Oleh sebab itu, sikap   selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu.
Skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu didukung atau ditolaknya, melalui rentangan nilai tertentu. Oleh sebab itu, pernyataan yang diajukan dibagi ke dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif.
Salah satu skala sikap yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setuju, sangat tidak setuju. Sebagai contoh dapat dilihat pada tabel   sebagai berikut:

NO
PERNYATAAN
SS
S
R
TS
STS








Keterangan:
SS        : sangat setuju
S          : setuju
R         : tidak punya pendapat/ ragu-ragu
TS        : tidak setuju
STS     : sangat tidak setuju

Beberapa petunjuk untuk menyusun Skala Likert
a)      Tentukan objek yang dituju, kemudian tetapkan variabel yang akan diukur dengan skala tersebut.
b)      Lakukan analisis variabel tersebut menjadi beberapa subvariabel atau dimensi variabel, lalu kembangkan indikator setiap dimensi tersebut.
c)      Dari setiap indikator di atas, tentukan ruang lingkup pernyataan sikap yang berkenaan dengan aspek kognisi, afeksi, dan konasi terhadap objek
d)     Susunlah pernyataan untuk masing-masing aspek tersebut dalam dua kategori, yakni pernyataan positif dan pernyataan negatif, secara seimbang banyaknya.
Tahapan   mengembangkan kisi-kisi instrumen afektif   adalah sebagai berikut:
    1. pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap 
    2. tentukan indikator sikap 
    3. pilih tipe skala yang digunakan, misalnya; skala Likert dengan lima skala, seperti sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju.
    4. Tentukan nomor butir soal sesuai dengan indikator sikap
    5. Buatlah kisi-ksi instrumen dalam bentuk matrik
    6. telaah instrumen oleh teman sejawat atau ahli di bidangnya;
    7. perbaiki instrumen sesuai dengan hasil telaah instrumen oleh teman sejawat/ahli dengan memperhatikan kesesuaian  dengan indikator

untuk mendownload file ini klik DISINI


No comments:

Post a Comment